Alasan Kenapa Ngekos Wajib Sendirian (Pengalaman Pribadi)
Terlepas apa pun sebabnya, ingat! Jangan pernah ngekos atau sewa kos-kosan berduaan dengan orang. Entah dianya berasal dari keluarga sendiri atau pun teman bermain (se-tongkrongan).
Artikel ini saya bagikan berdasarkan pengalaman pribadi, yang pernah "slek" dengan teman serumah.
Mulanya, di tahun 2020, saya diajak oleh seorang teman untuk tinggal di rumah dinasnya. "Kawan tidur," katanya, karena beliau takut sendirian di rumah. Apalagi di saat itu, keadaan di belakang rumah hanya rawa-rawa, gelap gulita, tidak ada kehidupan.
Katanya pun, saya hanya perlu membayar tagihan PDAM dengan biaya kurang dari Rp30.000.- per bulannya; sedangkan token listrik bebas pakai.
Jika dipikir dengan logika, siapa yang tak mau, coba?! Bisa hemat ratusan ribu per bulannya!
Sebelum artikel dilanjutkan, perlu diketahui bahwa rumah dinas ini terdiri dari empat (4) rumah.
Keempatnya berada di satu komplek yang dipagari dan dikelilingi oleh besi, yang dikunci dan digembok.
Masing-masing orang yang menempati rumah dinas sudah memegang kunci gemboknya masing-masing.
Dimulai dari bulan pertama dan kedua, pertemanan kami berdua baik-baik saja, sama sekali tidak ada masalah.
Terkadang saya ditraktir kopi dan makanan olehnya, dan pernah juga sesekali saya mentraktirnya.
Pernah di suatu ketika, saya diusir secara halus olehnya karena keluarganya yang dari luar kota mau datang dan menginap di rumah dinas tersebut. Saya pun mengiyakan; dan rela makan, mandi, dan tidur selama 5 hari lamanya di kantor.
Begitu memasuki bulan ketiga, keadaan pun menjadi aneh. Bermula ketika saya dibangunkan olehnya, di sore hari. Padahal lagi enak-enaknya tidur. Saya dipaksa bangun untuk membersihkan area belakang rumah yang penuh dengan rumput, lumut, dan dedaunan pohon yang berserakan.
Sebenarnya tidak ada masalah di sini, toh, saya sadar diri kalau selama ini saya hanya menumpang di rumah dinasnya. Masalahnya kenapa harus mendadak? Kenapa tidak direncanakan di hari-hari sebelumnya? Kenapa di saat saya lagi enak-enaknya tidur?
Suatu hari, saya pernah dititipi olehnya (Mr. X) sebuah kunci untuk membuka gembok pagar komplek.
Mr. X: "tolong kunci ini dikasih ke si fulan, ya. Pas pulang nanti jangan digembok pagarnya, biar dia bisa masuk ke rumah."
"Baik, bang!" kata saya. Dalam keadaan sadar, lantas saya menghubungi dan menyampaikan ke fulan kalau ada titipan kunci yang harus saya berikan untuknya.
Hari pun sudah malam. Pukul sudah menunjukan jam 20.00 WIB, tidak ada tanda-tanda kalau si fulan sudah pulang.
Pukul 20.15 WIB saya chat, "fulan di mana? sama saya ada titipan kunci buka gembok pagar."
Fulan: "saya di warung kopi ini, bang! Tadi sudah pulang juga, sudah mandi juga."
Saya: "lho? terus tadi waktu masuk gimana?"
Fulan: "manjat pagarnya, bang."
Saya: "kan sudah saya kabari kalau mau pulang segera chat saya, nanti saya kasih kuncinya."
Fulan: "kirain saya abangnya sudah tidur, makanya enggak saya chat lagi."
Saya: "oh ya sudah... Aman, ya?"
Fulan: "aman, bang..."
Percakapan chat kami pun terputus.
Perlu diketahui, saya sudah beritahu fulan kalau dia pulang ke rumah, segera hubungi saya biar diberikan kuncinya. Ternyata gak dikabari.
Pukul pun menunjukkan 21.30 WIB (kalau tidak salah). Mr. X pulang ke rumah.
Mr. X: "kunci tadi sudah dititipkan?"
Saya: "gak sempat bang, dia keburu pulang terus pergi lagi."
Mr. X: "itu pagar digembok, cara dia masuk tadi gimana?
Saya: "katanya lompat pagar, padahal sudah dikabari kalau pulang, hubungi saya biar saya kasih kunci pagar gemboknya."
Mr. X: "kau gimana sih? Bikin malu aja! Kan sudah aku titipkan kuncinya, kenapa gak kau kasih?!"
Saya: "lah, dia aja pulang tiba-tiba gak ngabarin. Alasannya dikiranya saya sudah tidur. Padahal belum tidur."
Mr. X: "aku malu sama bapaknya! Bapaknya atasan aku! Waktu aku beli gembok, aku telpon baik-baik bapaknya buat minta izin beli gembok! Kami patungan beli gembok! Malah sekarang kau buat aku malu di depan bapaknya!"
Saya: "kan saya gak salah bang! Pagar digembok pun bukan saya yang gembok!"
Mr. X: "diam kau! Sekarang aku telpon si fulan!"
Mr. X pun menelepon si fulan untuk mengonfirmasi dengan apa yang terjadi. Alhamdulillah sepertinya si fulan membela saya, terlihat setelah teleponan tersebut dimatikan, suara Mr. X yang awalnya lantang menjadi agak lembut karena dirinya sudah salah menilai saya.
Mr. X: "si fulan lagi di warung kopi, sekarang kau antar kunci ini ke dia, sekarang!"
Saya pun nurut dan langsung bergegas mengantarkan kunci gembok yang diamanahinya ke si fulan. Begitu bertemu si fulan, saya pun curhat kalau saya habis diceramahi dan dibentak.
Fulan dengan beragam alasannya memohon maaf ke saya karena kesalahannya. Karena malas ribut, saya pun balik ke rumah.
Keadaan hati (mood) yang awalnya ceria, berubah menjadi mencekam. Masih teringat momen ketika saya dibentak, saya sudah pasang badan, sudah menggenggam kunci motor untuk memukulnya apabila sewaktu-waktu Mr. X main tangan. Pokoknya sudah di mode bertarung ๐
Yang lucunya, besok paginya, kita berpapasan di rumah dan Mr. X lagi-lagi memperingati saya. Karena saya tidak salah dan gak mau disalahkan, tentu dong saya membela diri.
Saya: "tapi kan saya gak salah, bang..."
Mr. X: "diam kau! Aku lagi ngomong jangan kau nyela!"
Sekali lagi, karena malas ribut, saya pun mengiyakan ceramahnya ๐
Saya masih ingat, hari itu hari Jum'at. Karena sore harinya, Mr. X harus pulang ke rumahnya yang ada di luar kota. Senin sampai jum'at, balik lagi ke kota ini untuk bekerja.
Besoknya, hari sabtu, dalam keadaan sendirian di rumah dinas yang sepi, saya menelpon keluarga saya yang ada di kampung. Saya curhat kalau saya lagi ditimpa masalah, difitnah, dan ingin menyewa koskosan sendirian.
Begitu keluarga besar mengetahui keadaan saya; mereka menjadi berang, marah besar, marah sebesar-besarnya. Gak seharusnya saya diperlakukan sedemikian rupa. Gak ikhlas adik bungsunya diapa-apain. Apalagi posisi dan situasinya memang gak salah.
Keluarga pun langsung ambil kesimpulan bahwa saya harus keluar dari rumah tersebut.
Memasuki waktu siang hari (sabtu), saya pun bergegas mengelilingi kota untuk mencari dan menentukan koskosan yang ingin disewa. Alhamdulillah, langsung ketemu.
Keesokan harinya, saya langsung packing barang dan mengangkutnya ke koskosan yang dituju. Begitu selesai, saya menelepon Mr. X dan mengabarinya bahwa saya harus keluar dari rumah dinas tersebut.
Saya juga meminta maaf padanya bila ada salah kata atau perilaku padanya (Mr. X).
Agak terdengar aneh, ya, kenapa juga saya harus minta maaf, 'kan? Ya begitu 'lah adanya, soalnya saya menganut: masuk baik-baik, keluar baik-baik.
Cerita pun berakhir...
Artikel ini saya bagikan berdasarkan pengalaman pribadi, yang pernah "slek" dengan teman serumah.
Mulanya, di tahun 2020, saya diajak oleh seorang teman untuk tinggal di rumah dinasnya. "Kawan tidur," katanya, karena beliau takut sendirian di rumah. Apalagi di saat itu, keadaan di belakang rumah hanya rawa-rawa, gelap gulita, tidak ada kehidupan.
Katanya pun, saya hanya perlu membayar tagihan PDAM dengan biaya kurang dari Rp30.000.- per bulannya; sedangkan token listrik bebas pakai.
Jika dipikir dengan logika, siapa yang tak mau, coba?! Bisa hemat ratusan ribu per bulannya!
Kilas Rumah Dinas (Komplek)
Sebelum artikel dilanjutkan, perlu diketahui bahwa rumah dinas ini terdiri dari empat (4) rumah.
Keempatnya berada di satu komplek yang dipagari dan dikelilingi oleh besi, yang dikunci dan digembok.
Masing-masing orang yang menempati rumah dinas sudah memegang kunci gemboknya masing-masing.
Permulaan Masalah
Dimulai dari bulan pertama dan kedua, pertemanan kami berdua baik-baik saja, sama sekali tidak ada masalah.
Terkadang saya ditraktir kopi dan makanan olehnya, dan pernah juga sesekali saya mentraktirnya.
Pernah di suatu ketika, saya diusir secara halus olehnya karena keluarganya yang dari luar kota mau datang dan menginap di rumah dinas tersebut. Saya pun mengiyakan; dan rela makan, mandi, dan tidur selama 5 hari lamanya di kantor.
Namanya juga numpang, pasti kita mengalah, dong! Tahu diri, namanya... ๐
Begitu memasuki bulan ketiga, keadaan pun menjadi aneh. Bermula ketika saya dibangunkan olehnya, di sore hari. Padahal lagi enak-enaknya tidur. Saya dipaksa bangun untuk membersihkan area belakang rumah yang penuh dengan rumput, lumut, dan dedaunan pohon yang berserakan.
Sebenarnya tidak ada masalah di sini, toh, saya sadar diri kalau selama ini saya hanya menumpang di rumah dinasnya. Masalahnya kenapa harus mendadak? Kenapa tidak direncanakan di hari-hari sebelumnya? Kenapa di saat saya lagi enak-enaknya tidur?
Masalah Besar itu Terjadi
Suatu hari, saya pernah dititipi olehnya (Mr. X) sebuah kunci untuk membuka gembok pagar komplek.
Mr. X: "tolong kunci ini dikasih ke si fulan, ya. Pas pulang nanti jangan digembok pagarnya, biar dia bisa masuk ke rumah."
Fulan adalah tetangga rumah dinas.
"Baik, bang!" kata saya. Dalam keadaan sadar, lantas saya menghubungi dan menyampaikan ke fulan kalau ada titipan kunci yang harus saya berikan untuknya.
Hari pun sudah malam. Pukul sudah menunjukan jam 20.00 WIB, tidak ada tanda-tanda kalau si fulan sudah pulang.
Pukul 20.15 WIB saya chat, "fulan di mana? sama saya ada titipan kunci buka gembok pagar."
Fulan: "saya di warung kopi ini, bang! Tadi sudah pulang juga, sudah mandi juga."
Saya: "lho? terus tadi waktu masuk gimana?"
Fulan: "manjat pagarnya, bang."
Padahal pagarnya gak saya gembok, apa karena digembok sama tetangga sebelah?
Saya: "kan sudah saya kabari kalau mau pulang segera chat saya, nanti saya kasih kuncinya."
Fulan: "kirain saya abangnya sudah tidur, makanya enggak saya chat lagi."
Saya: "oh ya sudah... Aman, ya?"
Fulan: "aman, bang..."
Percakapan chat kami pun terputus.
Perlu diketahui, saya sudah beritahu fulan kalau dia pulang ke rumah, segera hubungi saya biar diberikan kuncinya. Ternyata gak dikabari.
Pukul pun menunjukkan 21.30 WIB (kalau tidak salah). Mr. X pulang ke rumah.
Mr. X: "kunci tadi sudah dititipkan?"
Saya: "gak sempat bang, dia keburu pulang terus pergi lagi."
Mr. X: "itu pagar digembok, cara dia masuk tadi gimana?
Saya: "katanya lompat pagar, padahal sudah dikabari kalau pulang, hubungi saya biar saya kasih kunci pagar gemboknya."
Mr. X: "kau gimana sih? Bikin malu aja! Kan sudah aku titipkan kuncinya, kenapa gak kau kasih?!"
Saya: "lah, dia aja pulang tiba-tiba gak ngabarin. Alasannya dikiranya saya sudah tidur. Padahal belum tidur."
Mr. X: "aku malu sama bapaknya! Bapaknya atasan aku! Waktu aku beli gembok, aku telpon baik-baik bapaknya buat minta izin beli gembok! Kami patungan beli gembok! Malah sekarang kau buat aku malu di depan bapaknya!"
Saya: "kan saya gak salah bang! Pagar digembok pun bukan saya yang gembok!"
Mr. X: "diam kau! Sekarang aku telpon si fulan!"
Mr. X pun menelepon si fulan untuk mengonfirmasi dengan apa yang terjadi. Alhamdulillah sepertinya si fulan membela saya, terlihat setelah teleponan tersebut dimatikan, suara Mr. X yang awalnya lantang menjadi agak lembut karena dirinya sudah salah menilai saya.
Mr. X: "si fulan lagi di warung kopi, sekarang kau antar kunci ini ke dia, sekarang!"
Saya pun nurut dan langsung bergegas mengantarkan kunci gembok yang diamanahinya ke si fulan. Begitu bertemu si fulan, saya pun curhat kalau saya habis diceramahi dan dibentak.
Fulan dengan beragam alasannya memohon maaf ke saya karena kesalahannya. Karena malas ribut, saya pun balik ke rumah.
Keadaan hati (mood) yang awalnya ceria, berubah menjadi mencekam. Masih teringat momen ketika saya dibentak, saya sudah pasang badan, sudah menggenggam kunci motor untuk memukulnya apabila sewaktu-waktu Mr. X main tangan. Pokoknya sudah di mode bertarung ๐
Yang lucunya, besok paginya, kita berpapasan di rumah dan Mr. X lagi-lagi memperingati saya. Karena saya tidak salah dan gak mau disalahkan, tentu dong saya membela diri.
Saya: "tapi kan saya gak salah, bang..."
Mr. X: "diam kau! Aku lagi ngomong jangan kau nyela!"
Sekali lagi, karena malas ribut, saya pun mengiyakan ceramahnya ๐
Saya masih ingat, hari itu hari Jum'at. Karena sore harinya, Mr. X harus pulang ke rumahnya yang ada di luar kota. Senin sampai jum'at, balik lagi ke kota ini untuk bekerja.
Keluarga Besar Marah Sekali
Besoknya, hari sabtu, dalam keadaan sendirian di rumah dinas yang sepi, saya menelpon keluarga saya yang ada di kampung. Saya curhat kalau saya lagi ditimpa masalah, difitnah, dan ingin menyewa koskosan sendirian.
Begitu keluarga besar mengetahui keadaan saya; mereka menjadi berang, marah besar, marah sebesar-besarnya. Gak seharusnya saya diperlakukan sedemikian rupa. Gak ikhlas adik bungsunya diapa-apain. Apalagi posisi dan situasinya memang gak salah.
Keluarga pun langsung ambil kesimpulan bahwa saya harus keluar dari rumah tersebut.
Memasuki waktu siang hari (sabtu), saya pun bergegas mengelilingi kota untuk mencari dan menentukan koskosan yang ingin disewa. Alhamdulillah, langsung ketemu.
Keesokan harinya, saya langsung packing barang dan mengangkutnya ke koskosan yang dituju. Begitu selesai, saya menelepon Mr. X dan mengabarinya bahwa saya harus keluar dari rumah dinas tersebut.
Saya juga meminta maaf padanya bila ada salah kata atau perilaku padanya (Mr. X).
Agak terdengar aneh, ya, kenapa juga saya harus minta maaf, 'kan? Ya begitu 'lah adanya, soalnya saya menganut: masuk baik-baik, keluar baik-baik.
Cerita pun berakhir...
Posting Komentar untuk "Alasan Kenapa Ngekos Wajib Sendirian (Pengalaman Pribadi)"
Posting Komentar
Jika ingin berkomentar, silakan pilih salah satunya:
(1.) Akun Google, (2.) Anonim, atau (3.) Nama (URL). Komentar akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum dipublikasikan. Terima kasih! ๐